Ince’: Identitas Keturunan Melayu Kampung Bontomangape di Pangkep

Kalau anda orang yang sering keluar masuk kampong Bontomangape, Lempangan, Bulu-bulu, dan Parang-parang maka anda tentunya sudah sering mendengar panggilan nama seseorang dengan predikat Ince’ atau Unda. Keempat kampong ini masuk dalam wilayah administratif Kelurahan Tumampua Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep (Sulawesi Selatan). Penyebutan Ince atau Unda juga kita dapat temui pada sebagian kecil masyarakat Kelurahan Tekolabbua dan Anrong Appaka, Pangkajene.

Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan Ince atau Unda itu ? Bagi orang yang suka belajar Sejarah Sulawesi Selatan, Sejarah Gowa atau Sejarah Perang Makassar, mungkin sebutan Ince (Entji) atau Unda ini akan mengingatkan kita pada sosok Ince Amin, juru tulis Sultan Hasanuddin, yang juga penulis “Syair Perang Mengkasar”.  Hal telah penulis jelaskan dalam beberapa artikel termuat di koran dan sedikit pembahasan mengenai sejarah kedatangan orang Melayu di Pangkep dalam buku, “Sejarah dan Kebudayaan Pangkep”. Kata “Ince” sebenarnya merupakan plesetan atau penyesuaian dialek melayu ke dalam Bahasa Bugis dan Makassar. Aslinya kata ini adalah Enci atau Entji yang dalam Bahasa Melayu berarti paman. Hal ini agak kontras dengan pemakaian kata Unda bagi komunitas keturunan melayu yang menggunakan panggilan “Unda” bagi orang tua, yang menurut dugaan penulis juga berasal dari bahasa rumpun melayu yang berarti kakak atau seseorang yang dituakan. Penulis sendiri, karena sejak kecil dibesarkan di Kampung Lempangan (Kampung ini layak mendapatkan julukan Kampong Melayu karena boleh dibilang sembilan puluh persen warganya adalah keturunan melayu) dan ibu sendiri, adalah asli keturunan melayu maka seringkali penulis ‘kecipratan’ dipanggil “Unda”, walau secara keturunan—berdasarkan prinsip ambokemmi ma’pabatti (pihak ayah yang menentukan darah keturunan)—hal itu tentu menyalahi karena bapak keturunan bangsawan Bugis. Jika merujuk kepada cerita ini, Ince Amin, tentu saja adalah salah satu contoh keturunan Melayu yang mendapatkan kedudukan sangat terhormat dalam istana Gowa.Jika ditilik dari sejarah panjang kedatangan dan keberadaannya di Siang (Pangkep), sebenarnya tidak layak lagi digolongkan sebagai keturunan melayu, namun sebagian kecil diantara komunitas ini begitu fanatik dengan ‘kemelayuannya’. Seringkali kita mendengar dalam pergaulan sehari – hari, “Ikatte antu tau malajua ….”, yang merupakan kebanggaan terhadap komunitasnya, begitu pula dengan narasi tutur (oral tradition) yang berkembang diantara mereka bahwa adalah hal yang pammali atau larangan memakan balacang (udang kecil) karena udang – udang kecil itulah yang (katanya) menyelamatkan perahu – perahu mereka, menempelkan diri secara bergerombol di badan perahu yang bocor.

Bangsa asing pertama yang datang / singgah ke Siang (Pangkep) adalah para pedagang melayu dari sebelah barat kepulauan nusantara. Hal ini diinformasikan oleh para pelaut Portugis dalam kepentingannya mencari pulau rempah-rempah (misi ekonomi perdagangan), selain untuk kepentingan penyebaran Agama Nasrani yang dibawa serta oleh para pendetanya (misi agama) misionaris. Kedatangan Portugis yang dipimpin Antonio de Payva, tahun 1544 ke Pelabuhan Suppa dan Siang adalah atas perintah Ruy Vas Pariera, Panglima Pasukan Portugis di Malaka. Kerajaan Malaka sendiri jatuh di tangan Portugis pada tahun 1511. (Th. Vanden End, 1996 dalam Makkulau, 2007).Dalam laporan Antonio de Paiva ketika mendarat di Siang pada tahun 1542 (Pelras, 1981 : 166-17), dia menyaksikan komunitas pedagang melayu di sepanjang pesisir barat Siang, dan bahkan sudah berbaur dengan penduduk pribumi setempat. Menurut Raja Siang saat menjamu de Paiva, Orang-orang Melayu di Siang sudah ada sejak 50 tahun lalu. Jadi, sekitar tahun 1490. Orang-orang Melayu itu terdiri dari orang Johor, Patani dan daerah lain di Semenanjung Melayu yang cukup memainkan peranan penting dalam hubungan perdagangan. Kalau ini benar, sudah dapat dipastikan bahwa Siang sudah lebih dahulu menerima (Agama / Pedagang) Islam dibandingkan dengan Gowa, meski tidak menjadi agama resmi kerajaan. Salah satu (mungkin) sebabnya, karena masih kuatnya “kepercayaan lama” dan pengaruh bissu, sebagai pendeta agama bugis kuna pra-Islam yang juga sebagai penasehat kerajaan.Kedatangan orang – orang Melayu di Siang tentunya semakin menguatkan dugaan bahwa Islam masuk di Siang (Pangkep) melalui pintu perniagaan, karena orang – orang Melayu itu bukan saja datang untuk kepentingan berdagang tetapi juga menyebarkan agama Islam. Pada tahun 1490 sudah ada perkampungan Melayu di Siang, (Mukhlis, tt, A Saransi, 2003 : 88). Dibelakang hari, ketika Siang ditaklukkan Gowa, Orang-orang Melayu dari Siang inilah yang banyak membantu pembangunan pelabuhan Somba Opu, Makassar.

Pada masa pemerintahan Karaeng Tumapakrisika Kallonna memegang tampuk pemerintahan Gowa, juga memberikan ijin tempat pemukiman bagi orang-orang Melayu di Kampung Mangallekana.
Sampai sekarang, tradisi tutur yang berkembang di Pangkajene menyebutkan bahwa keturunan orang – orang Melayu yang pernah datang ke Siang itu menempati Kampung yang namanya Lempangan dan Bontomangape (Jalan Coppotompong, Kelurahan Tumampua), serta sebagian besar wilayah Kelurahan Tekolabbua, sampai wilayah pesisir yang jauh, Parang-Parang dan Pandang Lau. Masyarakatnya akrab dipanggil “Unda” dengan penyebutan Gelar “Ince” di depan namanya. Misalnya, namanya Ince Unga, maka dipanggilnya dengan sebutan Unda Unga atau Dato’ Unga.  Penyebutan “Ince” tersebut merupakan perubahan pengucapan kata Melayu ke dalam Bahasa Makassar yang cukup baik dari penduduk lokal, yang berasal dari kata “Entji” atau “Enci”.

Tempat asal yang dimaksudkan untuk menunjuk “Semenanjung Melayu” adalah Malaysia sekarang ini. Sampai sekarang sebutan “Enci” itu akrab kita dengar kalau ke Malaysia. Adaptasi yang baik orang-orang Melayu sehingga membuat penguasa setempat simpatik dan memberinya tempat permukiman. Bahkan salah seorang tokoh dari Semenanjung Melayu sempat diangkat Penguasa Gowa menjadi Raja di Siang, yaitu Ince Wangkang sebagai Raja Siang IX paska Siang menjadi vasal Gowa, menggantikan Karaeng Kaluarrang dari Labakkang.

Antara kampung Lempangan dan Paccelang, Kampung Tujuaterdapat makam Raja Siang II Paska Siang menjadi Kerajaan Taklukan Gowa, yang bernama Johor atau Johoro’ (Mappasoro’). Johor atau Johoro’ ini merupakan sahabat baik Aru Palakka, yang pernah sama-sama La Tenritata ke Pariaman (Sumatera Barat) pada Abad XVII. Letaknya makamnya, Di Ponrok, yaitu ditengah-tengah hamparan persawahan antara Paccelang dan Baru-baru. Gelar anumertanya Johoro, Karaeng Siang Matinroe ri Ponrok. Sampai sekarang makamnya masih banyak dikunjungi, baik oleh warga sekitar maupun pendatang, bukan cuma sekedar ziarah, tapi juga meminta berkah dalam pekerjaan dan jodoh atau untuk kepentingan lain.

Hingga pertengahan Abad XV, para pedagang melayu Islam bukan saja telah menyebar hampir ke seluruh kepulauan Indonesia, termasuk wilayah barat jazirah Sulawesi Selatan, tetapi secara sosial bahkan telah muncul menjadi agen perubahan sejarah (agent of history change) yang penting. Meskipun belum sepenuhnya menyebar sampai ke pedalaman, namun setidaknya mereka telah banyak membangun diaspora - diaspora perdagangan, terutama di wilayah - wilayah pesisir pantai. Dengan dukungan kelas saudagar, proses islamisasi berlangsung secara besar-besaran dan hampir menjadi landskap historis yang dominan di Indonesia ketika itu.(*)

SUMBER : M. Farid W Makkulau
Terbit pada taggal 25 Maret 2011 di (Kompasiana)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Belum ada Komentar untuk "Ince’: Identitas Keturunan Melayu Kampung Bontomangape di Pangkep "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel