Ince’: Identitas Keturunan Melayu Kampung Bontomangape di Pangkep
Minggu, 02 Juni 2013
Tambah Komentar
Kalau anda orang yang sering keluar masuk kampong Bontomangape, Lempangan,
Bulu-bulu, dan Parang-parang maka anda tentunya sudah sering mendengar
panggilan nama seseorang dengan predikat Ince’ atau Unda. Keempat kampong ini
masuk dalam wilayah administratif Kelurahan Tumampua Kecamatan Pangkajene,
Kabupaten Pangkep (Sulawesi Selatan). Penyebutan Ince atau Unda juga kita dapat
temui pada sebagian kecil masyarakat Kelurahan Tekolabbua dan Anrong Appaka,
Pangkajene.
Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan Ince atau Unda itu
? Bagi orang yang suka belajar Sejarah Sulawesi Selatan, Sejarah Gowa atau
Sejarah Perang Makassar, mungkin sebutan Ince (Entji) atau Unda ini akan
mengingatkan kita pada sosok Ince Amin, juru tulis Sultan Hasanuddin, yang juga
penulis “Syair Perang Mengkasar”. Hal telah penulis jelaskan dalam
beberapa artikel termuat di koran dan sedikit pembahasan mengenai sejarah
kedatangan orang Melayu di Pangkep dalam buku, “Sejarah dan Kebudayaan
Pangkep”. Kata “Ince” sebenarnya merupakan plesetan atau penyesuaian dialek
melayu ke dalam Bahasa Bugis dan Makassar. Aslinya kata ini adalah Enci atau
Entji yang dalam Bahasa Melayu berarti paman. Hal ini agak kontras dengan
pemakaian kata Unda bagi komunitas keturunan melayu yang menggunakan panggilan
“Unda” bagi orang tua, yang menurut dugaan penulis juga berasal dari bahasa
rumpun melayu yang berarti kakak atau seseorang yang dituakan. Penulis sendiri,
karena sejak kecil dibesarkan di Kampung Lempangan (Kampung ini layak
mendapatkan julukan Kampong Melayu karena boleh dibilang sembilan puluh persen
warganya adalah keturunan melayu) dan ibu sendiri, adalah asli keturunan melayu
maka seringkali penulis ‘kecipratan’ dipanggil “Unda”, walau secara
keturunan—berdasarkan prinsip ambokemmi ma’pabatti (pihak ayah yang
menentukan darah keturunan)—hal itu tentu menyalahi karena bapak keturunan
bangsawan Bugis. Jika merujuk kepada cerita ini, Ince Amin, tentu saja adalah
salah satu contoh keturunan Melayu yang mendapatkan kedudukan sangat terhormat
dalam istana Gowa.Jika ditilik dari sejarah panjang kedatangan dan
keberadaannya di Siang (Pangkep), sebenarnya tidak layak lagi digolongkan
sebagai keturunan melayu, namun sebagian kecil diantara komunitas ini begitu
fanatik dengan ‘kemelayuannya’. Seringkali kita mendengar dalam pergaulan
sehari – hari, “Ikatte antu tau malajua ….”, yang merupakan kebanggaan
terhadap komunitasnya, begitu pula dengan narasi tutur (oral tradition) yang
berkembang diantara mereka bahwa adalah hal yang pammali atau larangan memakan
balacang (udang kecil) karena udang – udang kecil itulah yang (katanya)
menyelamatkan perahu – perahu mereka, menempelkan diri secara bergerombol di
badan perahu yang bocor.
Bangsa asing pertama yang datang / singgah ke Siang
(Pangkep) adalah para pedagang melayu dari sebelah barat kepulauan nusantara.
Hal ini diinformasikan oleh para pelaut Portugis dalam kepentingannya mencari
pulau rempah-rempah (misi ekonomi perdagangan), selain untuk kepentingan
penyebaran Agama Nasrani yang dibawa serta oleh para pendetanya (misi agama)
misionaris. Kedatangan Portugis yang dipimpin Antonio de Payva, tahun 1544 ke
Pelabuhan Suppa dan Siang adalah atas perintah Ruy Vas Pariera, Panglima
Pasukan Portugis di Malaka. Kerajaan Malaka sendiri jatuh di tangan Portugis
pada tahun 1511. (Th. Vanden End, 1996 dalam Makkulau, 2007).Dalam laporan
Antonio de Paiva ketika mendarat di Siang pada tahun 1542 (Pelras, 1981 :
166-17), dia menyaksikan komunitas pedagang melayu di sepanjang pesisir barat
Siang, dan bahkan sudah berbaur dengan penduduk pribumi setempat. Menurut Raja
Siang saat menjamu de Paiva, Orang-orang Melayu di Siang sudah ada sejak 50
tahun lalu. Jadi, sekitar tahun 1490. Orang-orang Melayu itu terdiri dari orang
Johor, Patani dan daerah lain di Semenanjung Melayu yang cukup memainkan
peranan penting dalam hubungan perdagangan. Kalau ini benar, sudah dapat
dipastikan bahwa Siang sudah lebih dahulu menerima (Agama / Pedagang) Islam
dibandingkan dengan Gowa, meski tidak menjadi agama resmi kerajaan. Salah satu
(mungkin) sebabnya, karena masih kuatnya “kepercayaan lama” dan pengaruh bissu,
sebagai pendeta agama bugis kuna pra-Islam yang juga sebagai penasehat
kerajaan.Kedatangan orang – orang Melayu di Siang tentunya semakin menguatkan
dugaan bahwa Islam masuk di Siang (Pangkep) melalui pintu perniagaan, karena
orang – orang Melayu itu bukan saja datang untuk kepentingan berdagang tetapi
juga menyebarkan agama Islam. Pada tahun 1490 sudah ada perkampungan Melayu di
Siang, (Mukhlis, tt, A Saransi, 2003 : 88). Dibelakang hari, ketika Siang
ditaklukkan Gowa, Orang-orang Melayu dari Siang inilah yang banyak membantu
pembangunan pelabuhan Somba Opu, Makassar.
Pada masa pemerintahan Karaeng Tumapakrisika Kallonna
memegang tampuk pemerintahan Gowa, juga memberikan ijin tempat pemukiman bagi
orang-orang Melayu di Kampung Mangallekana.
Sampai sekarang, tradisi tutur yang berkembang di
Pangkajene menyebutkan bahwa keturunan orang – orang Melayu yang pernah datang
ke Siang itu menempati Kampung yang namanya Lempangan dan Bontomangape (Jalan
Coppotompong, Kelurahan Tumampua), serta sebagian besar wilayah Kelurahan
Tekolabbua, sampai wilayah pesisir yang jauh, Parang-Parang dan Pandang Lau.
Masyarakatnya akrab dipanggil “Unda” dengan penyebutan Gelar “Ince” di depan
namanya. Misalnya, namanya Ince Unga, maka dipanggilnya dengan sebutan Unda
Unga atau Dato’ Unga. Penyebutan “Ince” tersebut merupakan perubahan
pengucapan kata Melayu ke dalam Bahasa Makassar yang cukup baik dari penduduk
lokal, yang berasal dari kata “Entji” atau “Enci”.
Tempat asal yang dimaksudkan untuk menunjuk “Semenanjung
Melayu” adalah Malaysia sekarang ini. Sampai sekarang sebutan “Enci” itu akrab
kita dengar kalau ke Malaysia. Adaptasi yang baik orang-orang Melayu sehingga
membuat penguasa setempat simpatik dan memberinya tempat permukiman. Bahkan
salah seorang tokoh dari Semenanjung Melayu sempat diangkat Penguasa Gowa
menjadi Raja di Siang, yaitu Ince Wangkang sebagai Raja Siang IX paska Siang
menjadi vasal Gowa, menggantikan Karaeng Kaluarrang dari Labakkang.
Antara kampung Lempangan dan Paccelang, Kampung Tujuaterdapat makam Raja Siang II Paska Siang menjadi Kerajaan Taklukan Gowa, yang
bernama Johor atau Johoro’ (Mappasoro’). Johor atau Johoro’ ini merupakan
sahabat baik Aru Palakka, yang pernah sama-sama La Tenritata ke Pariaman
(Sumatera Barat) pada Abad XVII. Letaknya makamnya, Di Ponrok, yaitu
ditengah-tengah hamparan persawahan antara Paccelang dan Baru-baru. Gelar
anumertanya Johoro, Karaeng Siang Matinroe ri Ponrok. Sampai sekarang makamnya
masih banyak dikunjungi, baik oleh warga sekitar maupun pendatang, bukan cuma
sekedar ziarah, tapi juga meminta berkah dalam pekerjaan dan jodoh atau untuk
kepentingan lain.
Hingga pertengahan Abad XV, para pedagang melayu Islam
bukan saja telah menyebar hampir ke seluruh kepulauan Indonesia, termasuk
wilayah barat jazirah Sulawesi Selatan, tetapi secara sosial bahkan telah
muncul menjadi agen perubahan sejarah (agent of history change) yang penting.
Meskipun belum sepenuhnya menyebar sampai ke pedalaman, namun setidaknya mereka
telah banyak membangun diaspora - diaspora perdagangan, terutama di wilayah -
wilayah pesisir pantai. Dengan dukungan kelas saudagar, proses islamisasi
berlangsung secara besar-besaran dan hampir menjadi landskap historis yang
dominan di Indonesia ketika itu.(*)
SUMBER : M. Farid W Makkulau
Terbit pada taggal 25 Maret 2011 di (Kompasiana)
Belum ada Komentar untuk "Ince’: Identitas Keturunan Melayu Kampung Bontomangape di Pangkep "
Posting Komentar