Makna Tugu dan Patung di Ruas Pangkep
Jumat, 17 Mei 2013
Tambah Komentar
Makna Tugu dan Patung di Ruas Pangkep Mari kita mulai kesaksian indera mata kita. Semua pasti sudah melihat patung Andi Mappe dan tugu jam Semen Tonasa yang lokasinya dekat radio Torani. Ia sudah berdiri tegak dengan sebuah maksud yang beragam di benak para pembacanya (baca : yang melihatnya). Sejarah sebuah patung adalah sejarah akan sebuah kekuasaan yang tidak selalu bebas untuk dimiliki oleh siapa pun, membutuhkan sebuah “Penaklukan” untuk mendapatkan hak paten untuk di akui. Karena dalam melakukan sebuah penaklukan bukanlah sesuatu yang mudah.
Tugu dan Patung di Ruas Pangkep |
Hal itu pernah terjadi beberapa tahun yang lalu di Pangkep, dulu pernah ada tugu bambu runcing yang mengantikan gedung bioskop kemudian di rombak lagi sebelum berdiri tugu bambu runcing yang sekarang. Tidak jauh dari lokasi itu juga pernah ada tugu tangan, dan di lokasi yang sama juga terdapat pajangan tembok setinggi kurang lebih dua meter dengan panjang sekitar lima meter dan dinamakan panggung corat-coret. Di sana pernah terjadi pengalaman komunal anak muda Pangkep yang terhenti setelah bergantinya kebijakan tata ruang kota.
Di ujung barat dan di ujung selatan Pangkep juga di bangun tugu perbatasan, di Kalibone tugu perbatasan di jaga oleh burung Rajawali dengan kedua sayapnya yang membentang. Sedangkan tugu perbatasan di Kecamatan Mandalle sayap burung tidak membentang, sedikit tertekuk yang mungkin menandakan burung baru saja singgah bertengger.
Sejauh ini pernahkah kita bertanya dan tidak hanya setuju saja. Pertanyaan sederhananya bisa di mulai dengan: apakah burung jenis Rajawali hidup bebas di alam Pangkep? dan sejauh mana ia membekas dalam alam pikiran masyarakat Pangkep? Layaknya burung jenis Cenderawasih yang begitu melegenda dalam sejarah benak masyarakat Papua.
Memang ada tugu Ikan Bolu dan Udang (doang sitto), yang begitu melekat dalam benak orang Pangkep, tapi itu berdiri di daerah Male’leng yang tidak jauh dari jembatan. Ia tidak begitu gagah bila dibandingkan dengan rancangan arsitektur patung jam yang di apit dengan kantungan Semen Tonasa, seolah terlupakan kalau Ikan Bolu dan Udang merupakan salah satu perangsang ekonomi masyarakat Pangkep. Sehingga tidak dijadikan tugu (Ikon) perbatasan di Kalibone dan di Mandalle sebagai pintu gerbang memasuki wilayah Pangkep.
Masyarakat Bone mencoba jujur dengan melawan data-data sejarah dari pusat (Pemerintah) yang men ”cap” Arung Palakka sebagai pengkhianat. Tapi dalam benak masyarakat Bone dengan pendekatan filosofi Bugis atau dalam hal ini konsep Siri na Pesse menempatkan sosok Arung Palakka sebagai pahlawan yang harus selalu di ingat sehingga patungnya wajib ditegakkan sebagai penjelas akan sejarah kemerdekaan suku Bugis dari perbudakan kerajaan Gowa.
Sejauh ini patung Andi Mappe yang duduk dengan sorot mata yang tajam seolah mengajak kita untuk terus bertanya terkait pembangunan karakter kota Pangkep. Tentuya kita tidak ingin membuat suatu sintesa keraguan akan sosok kepahlawanan. Melainkan lebih pada rangkaian suatu konsep yang menjelaskan tentang ingatan sejarah yang melekat pada suatu daerah. Jika kita pernah berkunjung ke Papua, maka dengan mudah kita akan menjumpai tugu tifa (alat musik tradisonal Papua berupa gendang) yang dijadikan sebagai induk pagar disetiap kantor Dinas yang ada disana.
Namun di Pangkep kita bisa melihat pintu gerbang kantor Pemerintah Daerah yang menggunakan arsitektur gaya ghotic. Padahal kita tahu arsitektur gaya ghotic tentulah bukan ciri khas bangunan Sulawesi Selatan pada umumnya dan Pangkep pada khususnya, kenapa misalnya tidak menggunakan konsep arsitektur lokal dengan memasang bola suji yang umumnya digunakan di Sulawesi Selatan untuk dijadikan ikon.
Pada salah satu kalimat dalam Novel Bumi Manusianya Pramoedya Ananta Toer, mencoba mengingatkan kalau ukuran suatu kemajuan suatu bangsa bukanlah dengan kemegahan akan bangunannya, karena jika demikian bumi Nusantara (sekarang di sebut Indonesia) sudah barang tentu daerah yang paling maju. Karena sudah bisa membangun Candi Borobudur sedangkan di wilayah Eropa pada saat itu belum ada sama sekali bangunan semegah Candi Borobudur.
Jika hari ini dengan kecanggihan teknologi yang di miliki oleh Eropa. Lalu mengapa tidak juga membangun candi yang lebih besar dari candi Borobudur?. Jawaban sederhananya adalah, karena Eropa sama sekali tidak membutuhkan sebuah candi untuk masyarakatnya. Artinya adalah, kelekatan suatu bangunan (tugu) harusnya jangan dipisahkan dengan kultur masyarakatnya. Karena yang terjadi hanyalah suatu keterasingan dan sekedar merupakan hantu-hantu modernitas.
Sepanjang ingatan kita semua, di daerah Tala Kecamatan Ma’rang terdapat sebuah patung Jambu Mete yang memang di lokasi itu hidup dengan suburnya dan merupakan napas ekonomi oleh masyarakat setempat. Kemudian di jalan masuk Padanglampe terdapat patung jeruk yang rancangannya menggunakan bahan baku besi dalam pembuatannya sebagai penanda kalau di daerah tersebut merupkan daerah penghasil Jeruk. Karena patung merupakan sistem tanda yang terekam dalam benak suatu masyarakat yang tanpa perdebatan akan keberadaanya.
Sunaryo (pembuat patungnya Jenderal Sudirman) pada salah satu pameran tunggalnya pernah membuat patung yang begitu abstrak. Patung itu menjelaskan tentang keberadaan kota Jakarta yang tak jelas lagi karakternya karena telah lupa pada sejarahnya dan kultur masayarakatnya sendiri. Nah, bagaimana dengan Pangkep
Pernah di Muat di Bulletin UKM SENI Ilalang STAI DDI Pangkep edisi II November 2009
Belum ada Komentar untuk "Makna Tugu dan Patung di Ruas Pangkep"
Posting Komentar